Powered By Blogger

Sabtu, November 27, 2010

Polemik Hukum di Indonesia & Solusi Islam dalam Mengatasinya

Beberapa bulan belakangan ini dunia hukum di Indonesia tengah diterpa bencana silih berganti. Bukan berarti kondisi sebelum baik-baik saja. Penyimpangan hukum sebenarnya sudah terjadi sejak negara ini menyatakan merdeka. Namun pada masa orde baru dan orde lama masih terbungkus kado yang cantik hingga kelihatannya baik-baik saja. Setelah zaman reformasi dimulai berbagai carut marut hukum akhirnya terkuak dan menjadi tontonan sehari-hari rakyatnya.
Apalagi beberapa bulan ini, Maraknya berbagai kasus suap-menyuap, kolusi, korupsi, penggelapan pajak, dan kejahatan lainnya yang tak hanya melibatkan pejabat eksekutif maupun pengusaha, para penegak hukum sendiri menjadi dalang dari kisruh hukum di negara ini.
Adanya makelar kasus (markus), skandal pajak Gayus, kasus Bibit- Candra yang kembali diadili, nasib Susno yang semakin tidak jelas, serta kasus Century yang akhirnya menguap begitu saja merupakan fakta yang tak dapat dibantah bahwa ada yang salah dari hukum di negara ini. Upaya penyelesaian hukum yang bersifat stagnan dan tak berujung. Kasus hukum dipakai oleh para elite politik sebagai bargaining posisition dengan cara menyandera atau memunculkan kembali kasus yang melibatkan lawan politiknya. Akhirnya tidak jarang upaya penyelesaian hukum yang terjadi merupakan hasil kesepakatan politik. Selain itu, pihak-pihak yang seharusnya terlibat dalam penegakan hukum ternyata terlibat dalam kejahatan hukum itu sendiri.
Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, banyak pejabat dan pimpinan di negara ini terkena sakit ketidakjujuran. Hal ini dikemukakan pada saat membuka pelatihan ESQ Nasional di Jakarta, Februari lalu. Hal yang perlu dicermati adalah apakah hanya masalah kelakuan indivdu para pemimpin di negeri ini membuat negara terpuruk seperti pada bidang hukum? Kita semestinya bertanya juga apakah yang membuat para pemimpin dan pejabat di negara ini berani melakukan hal tersebut? Bukankah negara ini telah memiliki aturan hukum misalnya KUHP, undang-undang hukum perdata, serta berbagai undang-undang lainnya.
Sejatinya, polemik hukum di negara ini bukan hanya dari aspek mental kelakuan individunya. Namun, pada sistem hukum yang dijalankan. Memang benar bahwa setiap kasus yang terjadi pasti melibatkan individu. Akan tetapi, individu tersebut berani melakukan kejahatan atau tindakan pelanggaran hukum tentu karena tidak adanya sistem hukum yang mampu mencegah mereka dan memberikan efek jera. Hukum yang dijalankan saat ini cenderung tambal sulam, berat sebelah, dapat diperjual-belikan, dan berlubang di sana-sini sehingga tidak dapat menjerat secara mutlak pelaku pelanggaran hukum. Ada saja dalih maupun argumen yang dimunculkan untuk lolos dari jeratan hukum. Oleh karena itu, kita harusnya kembali bertanya lagi, apa yang menjadi landasan atau ide dasar para pembuat undang-undang tersebut (para anggota DPR ) sehingga menghasilkan undang-undang yang cacat? Adakah undang-undang yang berlaku universal, adil, tidak bergantung waktu, memiliki kepastian hukum, serta memiliki efek jera?
Jawaban adalah sekulerisme. Paham inilah yang merupakan akidah dari kapitalisme, liberalisme, HAM, gender, pluralisme. Sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) telah membawa masyarakat terutama umat muslim berada dalam jurang kehinaan. Dengan paham inilah para pejabat negara legislatif menghasilkan produk undang-undang yang cacat sejak lahir.
Sesungguhnya, undang-undang atau aturan yang mampu mensejahterakan dan memberikan rasa adil kepada manusia adalah berasal dari zat yang paling mengetahui sifat dan karakter manusia itu sendiri yang tidak lain Al Khaliq Allah SWT. Aturan Allah SWT berupa syariat Islam merupakan satu-satunya pilihan dan bukan alternatif jika manusia (muslim) meyakini bahwa syariat Islam diturunkan oleh-Nya untuk mengatur hidup manusia. Oleh karena itu, adalah suatu kesalahan yang amat fatal jika negara Indonesia mayoritas penduduknya mengaku muslim mengambil hukum yang lain. Buktinya adalah polemik hukum yang terjadi ditengah-tengah kita.
Syariat Islam sangatlah berbeda dari aturan atau undang-undang yang lain, baik dilihat dari segi subtansi, sistem yang berjalan, seta budaya hukum Islam sendiri.
1. Dari segi subtansi, syariat Islam merupakan aturan yang berasal dari sang pencipta yang mengetahui hakikat manusia dan segala hal yang berkaitan dengannya. Allah SWT tidak memiliki kepentingan apapun dari hukum yang ditetapkan untuk manusia. Sehingga ketika Syariat Islam menetapkan haram dan halal tentulah hal tersebut bersifat baku, berlaku bagi seluruh manusia, serta tidak dapat dipermainkan sesuai kepentingan penguasa.
2. Dari segi sistem yang berjalan, setidaknya ada dua keunggulan syariat Islam yaitu, pada kejelasan pihak yang terlibat struktur hukum serta putusan hukum yang tidak berjenjang. Dalam Islam, pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan kasus hukum hanyalah aparat pengadilan. Pihak kepolisian tugas utamanya menjaga keteriban dan keamanaan. Masalah pembuktian, penuntutan, dan pengadilan ditangani aparat pengadilan dan para hakim (qadli). Hal ini sangat berbeda dengan struktur hukum di Indonesia. Pihak-pihak yang menyelidiki dan menyidik saja ada kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Akibatnya, Tumpang tindih dan tarik-menarik kepentingan antar lembaga sangatlah rawan.
3. Selain itu, Syariat Islam tidak mengenal putusan hukum yang berjenjang. Keputusan yang diambil oleh hakim adalah keputusan final dan mengikat. Keputusan tersebut tidak akan berubah dan tidak bisa dibatalkan oleh hakim lain. Hal ini akan memperpendek proses memperoleh kepastian hukum. Hal ini sangat berbeda pada sistem hukum Indonesia yang sifatnya berjenjang mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi(banding), dan Mahkamah Agung(kasasi). Seseorang yang berperkara untuk memperoleh kepastian hukum akan mengalami prose yang panjang, biaya yang besar, serta semakin banyak pihak yang terlibat. Disisi lain, proses tersebut akan memberikan celah kepada pihak-pihak yang ingin memperoleh keuntungan pribadi dan terjadinya kolusi.
4. Adapun berkaitan dengan budaya hukum, budaya malu dan pengendalian diri sangat mendapat perhatian dalam Islam. Sistem Islam menanamkan Iman kepada masyarakat, pejabat negara, dan pejabat hukum. Hal tersebut akan menjaga perilaku dan kejujuran pejabat untuk tidak melalukan kriminal. Budaya hukum Islam juga akan membuat pengawasan masyarakat berjalan dengan baik. Mereka akan menolak dan mencegah jika ada perbuatan hukum yang menyimpang.

Tidak ada komentar: