Powered By Blogger

Sabtu, Januari 21, 2012

BAB I

A. LATAR BELAKANG
Kesulitan yang paling krusial adalah, dari mana kita harus mulai untuk memperbaiki carut marutnya hukum bangsa ini. Hanya sekedar gambaran dan hal ini saja tentu belum cukup, bahwa hukum kita memasuki titik terendah dari apa yang kita sebut hilangnya ruhani hukum, kehidupan hukum yang tidak imajinatif, semrawut dan kumuh, sebagaimana dikatakan Kunto Wibisono, “telah terjadi kerancuan visi dan misi hukum kita yang mengarah kepada kehancuran supremasi hukum”.[1] Atau kalau kita hendak meminjam istilah seorang pemikir post modernis, Julia Kristeva, ini sebuah kondisi objek,[2] yaitu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dab tidak ada harapan, objek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan di mana setiap orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk empermainkan hukum, ada yang menangis, ada yang tertawa. Ada yang berjualan, ada yang telanjang, ada yang tidak punya malu dan ada apa saja di dalamnya.
Hukum dalam posisi demikian tidak memeiliki kekuasaan untuk menata dirinya, hukum pada titik keberatan, sebagaimana digambarkan oleh Satjipto Rahardjo,[3] situasi keberantakan itu diperlihatkan oleh kondisi hyperregulated, yaitu tumpang tindih (benturan) aturan karena terlalu banyak aturan, proses pembodohan masyarakat, penindasan, sampai kepada miskinya kreatifitas dan matinya nurani penegak hukum. Akibatnya muncul apa yang digambarkan sebagai model penyelesaian masalah di luar hukum formal, tanpa harus menunggu prosedur yang cenderung lama dan berbeli-belit, massa mengadili pelaku pada saat itu di tempat kejadian, mulai dari peradilan massa sampai kepada cap (stigma) tertentu terhadap birokrat. Situasi demikian muncul karena sudah tidak lagi ada kepercayaan yang bisa dilimpahkan kepada lembaga penyokong keadilan. Keadilan menjadi sangat eklusif dan hanya dimiliki oleh segelintir kelompok yang memiliki kemampuan mengalokasi sumber-sumber kekuasaan. Situasi itu telah memicu dan mendorong masyarakat yang termarjinalkan untuk bergerak. Semakin kuatnya tuntunan masyarakat demikian itu, maka dimulailah `Era Hukum Rakyat`,[4] rakyat mulai menguasai jalan dan mengambil alih penafsiran, “siapa mengusai jalan dia mengusai dunia”.[5]
Dari permasalahan diatas penulis merasa tertarik untuk membuat makalah dengan judul “SYARIAT ISLAM SEBAGAI SOLUSI KRISIS HUKUM”.

B. PERMASALAHAN
Beberapa pokok masalah atau permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud syariat Islam ?
2. Apa yang dimaksud Krisis Hukum ?
C. Maksud dan tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimksud dengan Syariat Islam
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Krisis Hukum
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syariat Islam
Syariat Islam sampai saat ini sebenarnya mempunyai tiga pengertian. Pertama, sebagai keseluruhan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Kedua, keseluruhan nushuh (teks-teks) Quran dan Sunah yang merupakan nilai-nilai hukum yang berasal dari wahyu Allah. Ketiga, pemahaman para ahli terhadap hukum yang berasal dari wahyu Allah dan hasil ijtihad yang berpedoman kepada wahyu Allah. Pemahaman ketiga ini disebut fiqh atau pemahaman fuqoha dalam masalah tertentu menyangkut perbuatan individu sebagai manusia. Fiqh terdiri dari pemahaman terhadap teks-teksdan pemahaman dalam keadaan dan pemahaman dalam keadaan tidak ada teks-teks. Karena melibatkan data pikir dan analisis, maka terdapat lebih dari satu pemahaman terhadap nilai-nilai yang berasl dari wahyu. Kesarjanaan Islam dalam bidang hukum telah melahirkan berbagai pemahaman dalam bentuk aliran yang disebut mazhab fiqh.
Aliran atau mazhab fiqh lahir dari perbedaan pemahaman terhadap teks-teks syariat atau pemahaman tertentu. Mazhab-mazhab fiqh tumbuh dan berkembang  pada abad pertama Hijriah. Mazhab-mazhab yang masih tersisa sampai sekarang masih berjumlah lama mazhab: Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafi’i dan Ja’fari (Syi’ah). Secara geografis, mazhab Hanafi tersebar di Bangladesh, Pakistan, India, Afghanistan, Asia Barat (Turki, Suria dan lain-lain) dan Mesir bagian utara; mazhab Maliki di Afrika utara dan barat; mazhab Syafi’i di Indonesia, Malaysia dan negara-negara ASEAN yang lain, Mazhab Hambali di Arabia; dan mazhab Ja’fari di Iran, dan bagian-bagian tertentu di Irak.[6]
Disebut Hanbali atau Maliki atau yang lainya bukanlah berarti pemahaman Imam Ahmad bin Hanbal atau Imam Malik bin Anas secara langsung, tetapi adalah pemahaman orang-orang yang mengklaim sebagi muri-muri beliau atau mengikut metodologi beliau. Misalnya, secara geografis umat Islam Indonesia dalam pengkajian figh sering disebut sebagai penganut mazhab Syafi’i, tetapi dalam praktik yang ditemukan di kalangan ulama mazhab di Indonesia, yang menjadi panutan utama bukanlah Syafi’i dari buku-buku aslinya. Paling tidak ada lima jenjang buku dari pengarang yang berbeda, yang bercabang beranting dan beranting lagi.[7]
Berbicara tentang penerapan syari’at dalam suatu negara, maka perlu ada pembatasan yang tegas tenang syari’at man yang  dimaksud. Syari’at dalam pengertian pertama mencangkup bidang yang lebih luas dari apa yang dimaksud hukum dalam pengertian modern. Syari’at dalam pengertian kedua mempunyai teks yang sangat terbatas, sedangkan permasakah hukum manusia tidak terbatas. Sementara itu, syari’at dalam pengertian ketiga sebagai fiqh, selain terdiri dari berbagai interpretasiatau mazhab da lebih luas dari cangkupan hukumdalm konteks negara, merupakan pandangan dari masa dan kondisi tertentu yang mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan kondisi kekinian umat. Karena itu, fiqh memerlukan penataan kembali sehingga sesuai betul dengan kebutuhan hukum zaman sekarang.
Syari’at Islam dengan pengertian fiqh memang kaya akan wawasan,tetapi pada umumnya belum terkodifikasi dalam bentuk kode hukum seperti kode hukum Barat. Permasalahan itu dirasakan oleh legislator Mesir sewaktu negara itu hendak membangun hukum nasionalnya berdasarkan syari’at Islam. Sebelum menjadi hukum positif, Syari’at Islam membutuhkan formulasi dalam bentuk kode hukum Islam yang siap pakai sesuatu kebutuhan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini pertama-tama merupakan tugas pakar hukum dan syari’at yang merumuskan fiqh lama dan baru sesuai dengan bahasa perundang-undangan.
Dalam ungkapan  Prof. Mohammad Hashim Kamali,[8] persoalan besar dalam sejarah legislasi Islam adalah tidak adanya pengalaman ijtihad dalam lembaga legislasi.

B. Pengertian Krisis Hukum

Krisis adalah suatu keadaan tidak stabil atau krusial di mana sebuah perubahan menentukan sedang terjadi yang mencemaskan banyak orang karena ketidakpastian yang akan dihadapi di masa depan. Dapat juga dikatakan bahwa krisis adalah ”suatu situasi yang telah mencapai fase krisis”(a situation that has reached a critical phase).[9]
Suatu hal yang sangat dirasakan oleh masyarakat, terutama rakyat awam, tidak adanya kepastian hukum. Gejala itu tampak dari kenyataan bahwa seseorang yang bersalah dalam masyarakat belum tentu mendapatkan ganjaran yang setimpal atas kesalahanya. Sebaliknya, seorang yang tidak bersalah mungkin saj menanggung akibat dari perbuatan yang tidak dilakukanya. Dengan kata lain, masyarakat pada umumnya tidak melihat keadilan ditegakkan  dengan seadil-adilnya dalam negara. Keadilan adalah inti hukum. Hukum serta keadilan adalah satu mata uang dengan dua muka.
Gejala lain adalah tidak adanya minat yang kuat dari rakyat untuk berurusan dengan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara bila mereka berurusan dengan hukum. Misalnya seorang yang kemalingan atau melihat dengan jelas suatu kejahatan yang sedang berlangsung, ia enggan untuk melapor kepolisi atau pihak yang berwajib karena dengan melakukan itu, ia bukanya akan membantu memecahkan masalah, tetapi malah membuat masalah sendiri bagi dirinya. Barangkali ia akan ditanya oleh aparat dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan atau diminta uang atas pelaporanya atau hal-hal lain yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini, yang bersangkutan tidak merasa aman dalam mengikuti proses hukum yang lazim, dan rasa aman adalah salah satu buah dari penegakan hukum dalam masyarakat.
Masalah “mafia peradilan”, “mafia pollisi”, “mafia militer”, “mafia wakil rakyat”, “mafia pemerintah”, “mafia anak pejabat”, “mafia pelajar”, “mafia binis”, dan lain-lain, disamping mafia gangster sebagai perampok dan maling profesional yang sudah lama terkenal, telah tejadi pembicaraan hangat masyarakat dari waktu ke waktu tanpa mengatahui hakikat dan penyelesaianya. Para penegak hukum kelihatanya tidak berdaya menghadapi berbagai mafia ini.
Contoh lain ketidakpastian hukum adalah tindakan langsung yang sering dilakukan oleh masyarakat akhir-akhir ini terhadap tersangka pelaku kejahatan dengan menghabisi yang bersangkutan melalui tindakan kekerasan atau membakarnya hidup-hidup. Contoh yang mirip adalah tuntutan dari beberapa tokoh demonstran untuk mengadili tokoh-tokoh sentral di masa lalu dalam pengadilan rakyat kerena dugaan KKN. Pengadilan rakyat sebenarnya tidak lain dari usaha pengeroyokan secara massal kepada tokoh-tokoh tertentu pada proses tanpa proses hukum yang normal. Paling tidak ada dua jawaban untuk gejala main hakim sendiri ini. Pertama, tindakan tersebut merupakan kebrutalan masyarakat yang tidak mengerti hukum bahwa seseorang tidak bisa dihukum bila yang bersangkutan tidak terbukti bersalah dalam sebuah pengadilan yang sah. Kedua, tindakan tersebut ditafsirkan sebagai ketidak percayaan masyarakat kepada hukum pemerintah karena dalam banyak kasus para pejabat tidak mendapat hukuman yang setimpal dan bahkan tidak jarang yang dilepas kembali setelah diserahkan polisi.
Sewaktu Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya pada bulan Agustus  1945, satu-satunya hukum nasional yang kita miliki adalah UUD 1945 yang disusun dalam masa yang relatif pendek,  dan karena itu memiliki berbagai kelemahan, sehingga pada era reformasi ini konstitusi Indonesia telah tiga kali mengalami amandemen dan untuk masa datang akan disempurnakan secara terus menerus. Sementara itu, sumber hukum yang lebih rendah berupa undang-undang, peraturan-peraturan, sistem pemerintah, sistem peradialan dan lain-lain masih mewarisi apa yang ditinggalkan oleh kau kolonial. Pemerintah kolonial juga meningggakan apa yang mereka pandang sebagai hukum adat, di samping pengakuanya terhadap hukum Islam sebagai perdata khusus yang berlakau bagi umat Islam. Dengan demikian, para ahli hukum kita pada umumnya mengatakan bahwa hukum nasional Indonesia pada waktu itu beersumber atau mencerminkan tiga sistem hukum: Barat, Adat dan Islam.[10] Ketiga sistem hukum inilah yang sedang bertarung atau berlebur untuk membentuk suatu hukum nasional yang lebih berciri Indonesia di masa depan.
Dari ketiga sitem hukum ini, maka hukum Islam mempunyai peluang besar untuk mengisi hukum nasional karena beberapa pertimbangan.
Pertama, bila kita sepakat dengan adat yang mempunyai implikasi hukum, maka hukum adat disamping klaim yang sering mengatakanya sebagai hukum yang berciri Indonesia, yang lebih bersifat kesukuan (ethinity), kecuali adat yang benar yang merupakan sumber komplementer hukum Islam. Karena itu, hukum adat yang tidak mencermikan keadilan, kamanusiaan, dan kebersamaan berpotensi untuk sektarianisme dan disintegrasi bangsa, dan dari hari ke hari cenderung ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan arus migrasin akulturasi dan modernisasi di seluruh wilayah Indonesia.
Kedua, Hukum Barat sebagai hukum asing menggambarkan sejarah dan norma-norma bangasa Eropa yang belum tentu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Selain itu, Hukum Barat zaman kolonial dirancang sebagai bagian dari politik kolonial untuk memepertahankan kekuasaan asing di bumi Nusantara. Dengan meningkatnya rasa kebangsaan di masa depan, kama hukum yang berasal dari barat akan diterima secara selektif, hanya bila  itu sesui dengan rasa keadilan dan norma-norma bangsa Indonesia.
Ketiga, hukum Islam mencerminkan norma-norma bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Seperti di akui oleh Daniel Lev, sebelum Nusantara dipersatukan oleh sebuah  Pemerintahan Kolonial Belanda, Hukum Islam terlebih dahulu telah menyatukan mayoritas rakyat Indonesia.[11]
Segi lain yang memantapkan hukum Islam adalah sifat diyani yang dikandungnya di samping  sifat qadha’i[12] karena berasal dari hukum agama yang tidak hanya mengikat manusia sebagai makhluk sosial, tetapi lebih-lebih karena berhubungan dengan keyakinan kepada Tuhan Yang maha Tinggi bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan, baik didunia maupun di akherat. Ini merupakan sebuah kenyataan bahwa hukum Islam telah menjadi bagian hukum positif Indonesia.














BAB III
PENUTUP

Salah satu krisis yang dihadapi bangsa Indonesia pada waktu ini adalah dalam bidang hukum yang terlihat dari gejala lemahnya penegakan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jalan keluar krisisi ini sebenarnya harus dimulai dari pembenahan aparat penegakan hukum seperti polisi, jaksa, hakim, pengacara dan pihak-pihak terkait di pengadilan. Langkah selanjutnya adalah pembentukan budaya hukum melalui pendidikan secara umum dan pendidikan secara khususu serta percontohan penegakan disiplin dalam bidang-bidang kehidupan yang bersifat top-down.













Daftar Pusaka

Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam Di Indonesia. Jakarta : Khoirul Bayan, 2004.
___________, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1990.
Prof. Dr. H.R. Otje Salman S., SH. Dan Anthon F. Susanto, SH., M.Hum,
Teori Hukum. (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali). Bandung: Refika Aditama, 2007.


[1] Koentono Wibisono Siswohamihardjo, “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofis)”, dalam wajah hukum di Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah menyambut 70 Tahun Satjipto Rahardjo, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2000, hlm. 149.
[2] Lihat: Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, Pustaka Mizan, 1998.
[3] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, KOMPAS, Kamis 20 Januari dan tanggal 21 Januari 2000
[4] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, Ibid.
[5] Paul Vrilio, Speed & Politics, Semiotex (e), New York, 1977, hlm.4.
[6] Khurram Murad, The Shari’ah: The Way ti God (Leicester: The Islamic Foundation, 1981), hlm. 23.
[7] Rifyal Ka’bah, hlm. 141-142.
[8] Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd, second revised edition, 1998), hlm. Xvii-xviii.
[9] Artikel “crisis” pada CD-ROM Merriam Webster Dictionary.©!1994 Merram Webster, Inc.
[10] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Komplikasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) hlm. 15-16
[11] Daniel S. Lev, diterjemahkan oleh Nirwono dan A. E. Proyono, Hukum dan Politik di Indonesia (jakarta:LP3ES, 1990), hlm, 121-122.
[12] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), hlm. 60-62.