Powered By Blogger

Sabtu, November 27, 2010

Kesulitan yang paling krusial adalah, dari mana kita harus mulai untuk memperbaiki carut marutnya hukum bangsa ini. Hanya sekedar gambaran dan hal ini saja tentu belum cukup, bahwa hukum kita memasuki titik terendah dari apa yang kita sebut hilangnya ruhani hukum, kehidupan hukum yang tidak imajinatif, semrawut dan kumuh, sebagaimana dikatakan Kunto Wibisono, “telah terjadi kerancuan visi dan misi hukum kita yang mengarah kepada kehancuran supremasi hukum”.[1] Atau kalau kita hendak meminjam istilah seorang pemikir post modernis, Julia Kristeva, ini sebuah kondisi objek,[2] yaitu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dab tidak ada harapan, objek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan di mana setiap orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk empermainkan hukum, ada yang menangis, ada yang tertawa. Ada yang berjualan, ada yang telanjang, ada yang tidak punya malu dan ada apa saja di dalamnya.

Hukum dalam posisi demikian tidak memeiliki kekuasaan untuk menata dirinya, hukum pada titik keberatan, sebagaimana digambarkan oleh Satjipto Rahardjo,[3] situasi keberantakan itu diperlihatkan oleh kondisi hyperregulated, yaitu tumpang tindih (benturan) aturan karena terlalu banyak aturan, proses pembodohan masyarakat, penindasan, sampai kepada miskinya kreatifitas dan matinya nurani penegak hukum. Akibatnya muncul apa yang digambarkan sebagai model penyelesaian masalah di luar hukum formal, tanpa harus menunggu prosedur yang cenderung lama dan berbeli-belit, massa mengadili pelaku pada saat itu di tempat kejadian, mulai dari peradilan massa sampai kepada cap (stigma) tertentu terhadap birokrat. Situasi demikian muncul karena sudah tidak lagi ada kepercayaan yang bisa dilimpahkan kepada lembaga penyokong keadilan. Keadilan menjadi sangat eklusif dan hanya dimiliki oleh segelintir kelompok yang memiliki kemampuan mengalokasi sumber-sumber kekuasaan. Situasi itu telah memicu dan mendorong masyarakat yang termarjinalkan untuk bergerak. Semakin kuatnya tuntunan masyarakat demikian itu, maka dimulailah `Era Hukum Rakyat`,[4] rakyat mulai menguasai jalan dan mengambil alih penafsiran, “siapa mengusai jalan dia mengusai dunia”


[1] Koentono Wibisono Siswohamihardjo, “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofis)”, dalam wajah hukum di Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah menyambut 70 Tahun Satjipto Rahardjo, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2000, hlm. 149.

[2] Lihat: Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, Pustaka Mizan, 1998.

[3] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, KOMPAS, Kamis 20 Januari dan tanggal 21 Januari 2000

[4] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, Ibid.

Tidak ada komentar: