Powered By Blogger

Selasa, Januari 07, 2014

PENGADILAN HAM

PENGADILAN HAM DI INDONESIA:

PROSEDUR DAN PRAKTEK

KEJAHATAN/PELANGGARAN HAM
-         ordinary crimes (jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan)
-         extraordinary crimes /pelanggaran HAM berat
-             crimes against humanity (“meluas”, “sistematik” dan “intensi”)
-             Genocida
-             War crime



3 cara alternatif untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat berdasarkan
Undang-undang No. 26 tahun 2000 ;
-         mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini
-         pengadilan HAM yang sifatnya permanen dan
-         menggunakan mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi.


Dari argumen tentang kesalahan secara konseptual ini menjadikan ada 2 lembaga yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadilai perkara pidana yaitu peradilan pidana dan pengadilan HAM.  Atas kesalahan konsep ini maka UU No. 26 Tahun 2000  dianggap sebagai undang-undang yang sifatnya transisional sehingga untuk masa yang akan datang harus dirubah dan diintegrasikan kedalam ketentuan pidana atau masuk peradilan pidana. 

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. Kelemahan-kelemahan ini karena
-     proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan.
-     Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya
-     tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunakan ketentuan yang berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHAP).

Pengaturan tentang pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000  adalah sebagai berikut :
           
b.    Kedudukan

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah : 
1.    Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan ham. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadual persidangan akan sangat bergantung dengan jadual persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh pengadilan negeri tempat pengadilan ham ini digelar.    
2.    Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.
3.    Dukungan panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran ham yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
4.    Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc  adalah ruangan tersendiri namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri.


c.  Jenis kejahatan yang dapat diadili

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan HAM adalah :
1.  Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
a.  membunuh anggota kelompok
b.  mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c.   menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d.  memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;
e.  memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2.  Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa :
a.  Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana pasal 340 KUHP.
b.  Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.  
c.   Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
d.  Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu  pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum international.
e.  Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional. 
f.    Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik  maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorang yang berada dibawah pengawasan.
g.  Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h.  Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i.     Penghilangan   orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
j.     Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan regim itu.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya  terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut:

“Kejahatan  terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …”

Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan dengan tegas.[1]) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama[2] menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir.

Kedua, adanya problematika yang timbul dari  penerjemahan yang keliru dalam  pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung.

Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi “penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang.[3] Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan.


d.    Hukum acara yang digunakan & Due Process of Law

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000  menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

UU No. 26 Tahun 2000  mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM  yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM  yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000  adalah :
1.    Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.
2.    Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional  hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.
3.    Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4.    Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5.    Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat.

e.    Delik tanggung jawab komando

Delik tanggung jawab komando ini diatur dalam pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000  yang membagi dalam 2 kategori pihak yang dapat terkena delik tanggung jawab komando yaitu  :
1.    unsur militer :
diatur dalam ayat 1 yang menentukan Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu:
                                          i.    komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
                                         ii.    komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

2.    unsur polisi atau sipil
dalam ayat 2 yang menentukan Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
                                          i.    atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
                                         ii.    atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 Tahun 2000  ini.  pengertian tanggung jawab komando dalam pasal 42 ayat 1 menyatakan :

komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, …”

Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan bukannya “akan” (shall) atau “harus” (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.

Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan…”[4]

Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando.[5]


4. Pengadilan Ham Ad Hoc


Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara  pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000.  Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM  permanen yang dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini.

Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000  tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah. Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran HAM di Timor-timur ini. 

Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc  didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.

Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang  berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
1.  adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM.
2.  adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
3.  adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempus dan locus delicti tertentu.
4.  adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc.

Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000  tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung, kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Presiden mengeluarkan keppres maka digelar pengadilan HAM ad hoc.

Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR.  Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan dari DPR. Meskipun masih diperdebatkan, sebagian kalangan praktisi dan akademisi hukum menganggap hal ini secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat.[6]




[1] Lihat Pasal 30 ayat 2 & 3, Statuta Roma, yang mengatur  mengenai mental element:  “For the purposes of ths article, a person has intent where: (2) (a) In relation to conduct, that person means to engage in the conduct; (b) In relation to a consequence that person means to cause that consequence or is aware that it will occur ordinary course of events. (3) For the purposes of this article,”knowledge” means awareness that a circumstance exists or consequence will occur in thw ondinary course of events. “Know” and “knowingly” shall be construed accordingly.”
[2] Pasal 9 UU no.26/2000
[3] Bandingkan pengertian “persecution” dalam ICC atau ICTY Statute dengan pengertian “penganiayaan” dalam UU No 26/2000 pasal 9(h). Penganiayaan sebagaimana pengertian dalam KUHP dalam bahasa Inggris setara (bukan sama secara definitif) dengan pengertian “assault” yang menunjuk pada penyerangan secara langsung terhadap fisik seseorang. Lihat juga Bassiouni, Crimes Against Humanity in the International Law, Kluwer Law International , 1999, hal 247.
[4] Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma: “That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes;” (garis bawah dari penulis)
[5] Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).
[6] Adanya kewenangan DPR untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc inilai yang banyak menghambat proses kearah adanya pengadilan HAM ad hoc karena DPR menganggap tidak ada pelanggaran HAM berat dari hasil penyelidikan komnas HAM. Contohnya adalah kasus trisaksi dan semanggi yang sampai sekarang belum dapat dibawa ke pengadilan HAM ad hoc. 

Tidak ada komentar: