Powered By Blogger

Sabtu, April 23, 2011

Teori Positifisme

 Teori Positivisme
Positivisme hukum dikenal sebagai suatu teori hukum yang menganggap bahwa pemisahan antara hukum dan moral merupakan hal yang teramat penting. Positivisme membedakan secara tajam antara: “what it is for a norm to exist as a valid law standard” dengan “what it is for a norm ti exist as a valid moral standard”. Jadi positivisme secara tegas membedakan “apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai  suatu standard hukum yang valid” dan “apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai suatu standard moral yang valid”.
Bagi kaum positivis, norma-norma hukum yang tergolong “bengis” pun, dapat diterima sebagai hukum, asalkan memenuhi criteria formal yang ada tentang hukum. Apakah suatu hukum itu hukum ataupun bukan hukum sama sekali tidak ditentukan oleh apakah sesuatu itu adil atau tidak adil. Positivisme menerima kemungkinan adanya hukum yang tidak adil atau yang dirasakan tidak adil, tetapi ia tidak berhenti menjadi hukum hanya karena ia dirasakan tidak adil.
Menurut eksponen utama positivisme hukum. Jhon Austin:[1]
Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak  yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, di mana otoritasnya pihak yang berkuasa merupakan otoritas tertinggi.
Jhon Austin, eksponen terbaik dari aliran ini, mendefinisikan hukum sebagai perintah dari otoritas yang berdaulat di dalam masyarakat. Suatu perintah yang merupakan ungkapan dari keinginan yang diarahkan oleh otoritas yang berdaulat, yang mengharuskan orang atau orang-orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal. Perintah itu bersandar karena adanya ancaman kejahatan, yang akan dipaksaan berlakunya jika perintah itu tidak ditaatin.
Demikian utama eksponen positivisme lain, Hans Kelsen mengemukakan bahwa:[2]
“Law is a coercive order of human behaviour, it is the primary norm which stipulates the sanction.”
(Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapakan sanksi-sanksi)
Keburukan yang mengancam bagi mereka yang tidak taat adalah berwujud sanksi yang berada di belakang setiap perintah itu. Suatu perintah merupakan suatu kewajiban untuk manaati, dan suatu sanksi merupakan tiga unsur esensial dari hukum. Hukum yang memiliki ketiga unsur tadi adalah hukum positif, yaitu hukum yang berdasarkan pada otoritas yang berdaulat. Hukum posotif berbeda dengan asaa-asas lain, misalnya asas-asas yang didasarkan pada moralitas, religi, kebiasaan, konvensi atau kesadaran warga masyarakat. Meskipun asas-asas tersebut diaplikasikan dan dilaksanakan terhadap orang, tetapi asas-asas tersebut tidak tegas sebagai hukum”. Sebab tidak ada sanksi di belakang asas-asas tadi dan tidak ada suatu mekanisme untuk pelaksanaanya. Suatu definisi hukum harus melarang semua aturan yang mirip hukum tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat.
W. Friedmann, menuliskan bahwa esensi ajaran Hans Kelsen adalah sebagai berikut:
The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity.
(Tujuan teori hukum seperti halnya setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan serta meningkatkan kesatuan).
Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of what he law not to be.
(Teori hukum adalah ilmu, dan bukan kehendak, ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada).
The law is a normative not a natural science.
(Ilmu hukum adalah normative, dan bukan ilmu alam).
Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms.
(Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidaklah berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum).
A theory of law is formal, a theory of the way of ordering changing contents in a specific way.
(Suatu tentang hukum sifatnya normal, merupakan suatu teori tentang cara pengaturan dan isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik).
The relation of legal theory to a particular system of positive law is that or possible to actual law.

(Hubungan antara teori hukun dengan suatu system hukum positif tertentu, adalah sama halnya dengan hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada)
Karakter positivistis dari Hans Kelsen sangat kental dalam tiga ajaranya yang utama, yang sangat menekankan pengakuannya hanya pada eksistensi hukum positif.
Ada tiga ajaran utama dari Hans Kelsen, yaitu:
a. Ajaran hukum murni (Reine Rechtslebre)
b. Ajaran tentang grundnorm
c. Ajaran tentang stufenboutheorie
Ajaran Hukum Murni, secara ringkas dapat dikemukakan bahwa Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya non-hukum, seperti sejarah, moral, sosiologis, politis, dan sebagainya. Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Kelsen, keadilan adalah masalah idiologi yang ideal-rasional. Kelsen hanya menerima hukum apa adanya yaitu berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara.
Ajaran tentang grundnorm, bertolak dari pemikiran yang hanya mengakui undang-undang sebagai hukum, maka Kelsen mengajarkan adanya grundorm yang merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan system nukum tertentu. Jadi antara grundrom yang ada pada tata hukum tertentu. Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundrom memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
Ajaran tentang Stufenboutheorie, ajaran tentang peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak pyramid, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin kebawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.


[1] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 55.
[2] Ibid,