Kamis, Desember 16, 2010
Sabtu, Desember 11, 2010
Konfigurasi Politik dan Produk Hukum
|     Konfigirasi   politik demokratis  |        Konfigurasi   Politik Otoriter  |   
|     1. Parpol dan   parlemen kuat, menetukan haluan atau kebijakan negara  |        1. Parpol dan   parlemen lemah, dibawah kendali eksekutif  |   
|     2. Lembaga   eksekuitf (pemerrintah) netral  |        2. Lembaga   eksekuitf (pemerrintah) netral intervensionis  |   
|     3. Pers bebas, tanpa sesnsor dan pembredelan  |        3. Pers terpasung, diancam sensor dan pembredelan  |   
|     Karakter Produk   Hukum Responsif  |        Karakter Produk   Hukum Ortodok  |   
|     1. Pembuatanya   Partisipasi  |        1. Pembuatanya   sentralistik-dominatif  |   
|     2. Muatanya   aspiratif  |        2. Muatanya   positvist-instrumentalistik  |   
|     3. Rincianaya   isinya limitatif  |        3. Rincian isinya   open interpretatif  |   
Kamis, Desember 02, 2010
Semestine
Dalam pelaksanaan peranan yang aktual, penegak hukum sebaiknya mampu "mulat sarira" atau "mawas diri", halamana akan tampak pada perilakunnya yang merupakan pelaksanaan aktualnya. Agar mamapu untuk mawas diri penegak hukum harus berikhtiar untuk hidup (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1983)"
1. Sabenere (logis), yaitu dapat membuktikan apa ayau nama yang benar dan yang salah
2. semestine (ethis), yaitu bersikap tidak maton atau berpatokan dan tidak waton ialah asal saja sehingga sembrono atau ngawur.
Ukuran Maton adalah:
a. "sabutuhe" yang maksudnya tidak serakah.
b. "sacukupe" yaitu mamapu tidak berkekurangan tetapi tidak juga berkelebihan.
c. "saperlune", artinya lugu, lugas tidak bertele-tele tanpa ujung pangkal.
3. sakepenake (estetis) yang harus di artikan: mencari yang enaktanpa menyebabkan tidak enak pada peribadi lain".
Selasa, November 30, 2010
Kenyataan
Sabtu, November 27, 2010
Kesulitan yang paling krusial adalah, dari mana kita harus mulai untuk memperbaiki carut marutnya hukum bangsa ini. Hanya sekedar gambaran dan hal ini saja tentu belum cukup, bahwa hukum kita memasuki titik terendah dari apa yang kita sebut hilangnya ruhani hukum, kehidupan hukum yang tidak imajinatif, semrawut dan kumuh, sebagaimana dikatakan Kunto Wibisono, “telah terjadi kerancuan visi dan misi hukum kita yang mengarah kepada kehancuran supremasi hukum”.[1] Atau kalau kita hendak meminjam istilah seorang pemikir post modernis, Julia Kristeva, ini sebuah kondisi objek,[2] yaitu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dab tidak ada harapan, objek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan di mana setiap orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk empermainkan hukum, ada yang menangis, ada yang tertawa. Ada yang berjualan, ada yang telanjang, ada yang tidak punya malu dan ada apa saja di dalamnya.
[1] Koentono Wibisono Siswohamihardjo, “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofis)”, dalam wajah hukum di Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah menyambut 70 Tahun Satjipto Rahardjo, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2000, hlm. 149.
[2] Lihat: Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, Pustaka Mizan, 1998.
[3] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, KOMPAS, Kamis 20 Januari dan tanggal 21 Januari 2000
[4] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, Ibid.
Kesulitan yang paling krusial adalah, dari mana kita harus mulai untuk memperbaiki carut marutnya hukum bangsa ini. Hanya sekedar gambaran dan hal ini saja tentu belum cukup, bahwa hukum kita memasuki titik terendah dari apa yang kita sebut hilangnya ruhani hukum, kehidupan hukum yang tidak imajinatif, semrawut dan kumuh, sebagaimana dikatakan Kunto Wibisono, “telah terjadi kerancuan visi dan misi hukum kita yang mengarah kepada kehancuran supremasi hukum”.[1] Atau kalau kita hendak meminjam istilah seorang pemikir post modernis, Julia Kristeva, ini sebuah kondisi objek,[2] yaitu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dab tidak ada harapan, objek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan di mana setiap orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk empermainkan hukum, ada yang menangis, ada yang tertawa. Ada yang berjualan, ada yang telanjang, ada yang tidak punya malu dan ada apa saja di dalamnya.
[1] Koentono Wibisono Siswohamihardjo, “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofis)”, dalam wajah hukum di Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah menyambut 70 Tahun Satjipto Rahardjo, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2000, hlm. 149.
[2] Lihat: Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, Pustaka Mizan, 1998.
[3] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, KOMPAS, Kamis 20 Januari dan tanggal 21 Januari 2000
[4] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, Ibid.
Berbincang dengan Tuhan
Mungkin tak semua indah apa yang kita lihat, kita rasa dan kita raba,,,pahit getir nan sakit itu pasti!!! menangislah itu tidak salah,,,Tuhan tau apa,yang kita mau.andai,,,
ah!! lagi-lagi Tuhan melarangku jangan banyak mengandai-andai,,jangan terlalu banyak berhayal.
Tuhan....dekatkan telingaMu akan kibisikkan sesuatu..."AKU MENCINTAI SALAH SATU HAMBAMU!!"
Andai itu baik buatku...Hai!!! Tuhan menghardik ku,sambil berbisik jangan mengandai-andai...
lalu aku harus berbuat apa????
jadilah kau yang terbaik dari hamba-hambaku,lupakan masa surammu pasti ia akan kuberikan untukmu!!
Teori Hukum
Polemik Hukum di Indonesia & Solusi Islam dalam Mengatasinya
Beberapa bulan belakangan ini dunia hukum di 