Powered By Blogger

Sabtu, Desember 11, 2010

Informasi Sederhana: Berbincang dengan Tuhan

Informasi Sederhana: Berbincang dengan Tuhan

Informasi Sederhana: Konfigurasi Politik dan Produk Hukum

Informasi Sederhana: Konfigurasi Politik dan Produk Hukum

Konfigurasi Politik dan Produk Hukum

Konfigurasi Politik dan Produk Hukum
Berpijak dari asumsi bahwa politik determinan atas hukum sehingga hukum merupakan produk politik. Politik sebagai independent variable secara ekstrem dibedakan atas politik yang demokratis dan polotik yang otoriter, sedangkan hukum sebagai dependent variable dibedakan atas hukum yang responsive dan hukum yang ortodok. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsive sedangkan konffigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks atau konservatif.
Karena istilah-istilah dalam ilmu sosial kerapkali mempunyai arti atau menimbulkan penafsiran yang ambigu maka variable atas pilihan asumsi diatas, telah dikonsepkan diberi indicator-indikator sebagai berikut:
Indikator Sistem Politik

Konfigirasi politik demokratis
Konfigurasi Politik Otoriter
1. Parpol dan parlemen kuat, menetukan haluan atau kebijakan negara
1. Parpol dan parlemen lemah, dibawah kendali eksekutif
2. Lembaga eksekuitf (pemerrintah) netral
2. Lembaga eksekuitf (pemerrintah) netral intervensionis
3. Pers bebas, tanpa sesnsor dan pembredelan
3. Pers terpasung, diancam sensor dan pembredelan

Indikator Karakter Produk Hukum

Karakter Produk Hukum Responsif
Karakter Produk Hukum Ortodok
1. Pembuatanya Partisipasi
1. Pembuatanya sentralistik-dominatif
2. Muatanya aspiratif
2. Muatanya positvist-instrumentalistik
3. Rincianaya isinya limitatif
3. Rincian isinya open interpretatif

Benarkah konfigurasi politik demokratis melahirkan hukum-hukum respomsif sedangkan konfigurasi konfigurasi politik yang  otoriter melahirkan hukum-hukum orrtidoks???

Kamis, Desember 02, 2010

Semestine

Dalam pelaksanaan peranan yang aktual, penegak hukum sebaiknya mampu "mulat sarira" atau "mawas diri", halamana akan tampak pada perilakunnya yang merupakan pelaksanaan aktualnya. Agar mamapu untuk mawas diri penegak hukum harus berikhtiar untuk hidup (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1983)"
1. Sabenere (logis), yaitu dapat membuktikan apa ayau nama yang benar dan yang salah
2. semestine (ethis), yaitu bersikap tidak maton atau berpatokan dan tidak waton ialah asal saja sehingga sembrono atau ngawur.
Ukuran Maton adalah:
a. "sabutuhe" yang maksudnya tidak serakah.
b. "sacukupe" yaitu mamapu tidak berkekurangan tetapi tidak juga berkelebihan.
c. "saperlune", artinya lugu, lugas tidak bertele-tele tanpa ujung pangkal.
3. sakepenake (estetis) yang harus di artikan: mencari yang enaktanpa menyebabkan tidak enak pada peribadi lain".

Selasa, November 30, 2010

Kenyataan

Kenyataan cintaku
Tak pernah seindah harapanku
Cinta yang kuharap memberikan kasih sayang kepadaku
Ku ingin cinta yang terbalas untukku..
Kuberikan cinta tulus dari lubuk hati..
Kuharap agar bisa dimiliki
Namun apa yang terjadi...


Betapa kecewa hati ini
Mengharap cinta yang suci
Ternyata...
Hanya cinta pembalasan sakit hati
Aku tahu cinta..
perhatian dan maaf darimu semua itu palsu tak ada cinta tulus untukku
Kini apa yang kumiliki hanya cinta yang menuntut tegarnya hati
Tak merasakan kekecewaan yang mendalam ini
Cinta yang ingin menguji...
Akankah cinta suci yang kumiliki
Antara cinta dan benci yang kini bergejolak dalam hati
Inginku memahami tapi aku tak berani
Inginku memuji tapi hati tak sudi...

Kini hati seimbang
Antara benci dan sayang, mata ini tak sanggup lagi memandang namun rasa ini tak pernah hilang.
Dia yang kusayang selalu kupandang
Dia yang kucinta selalu bertahta...
Sampai kapan derita ini berakhir..
Sampai cinta baru kembali terlahir
Atau sampai hembusan nafas terakhir.

Facebook

Facebook

Hukum

Hukum
menjajah

Sabtu, November 27, 2010

Kesulitan yang paling krusial adalah, dari mana kita harus mulai untuk memperbaiki carut marutnya hukum bangsa ini. Hanya sekedar gambaran dan hal ini saja tentu belum cukup, bahwa hukum kita memasuki titik terendah dari apa yang kita sebut hilangnya ruhani hukum, kehidupan hukum yang tidak imajinatif, semrawut dan kumuh, sebagaimana dikatakan Kunto Wibisono, “telah terjadi kerancuan visi dan misi hukum kita yang mengarah kepada kehancuran supremasi hukum”.[1] Atau kalau kita hendak meminjam istilah seorang pemikir post modernis, Julia Kristeva, ini sebuah kondisi objek,[2] yaitu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dab tidak ada harapan, objek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan di mana setiap orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk empermainkan hukum, ada yang menangis, ada yang tertawa. Ada yang berjualan, ada yang telanjang, ada yang tidak punya malu dan ada apa saja di dalamnya.

Hukum dalam posisi demikian tidak memeiliki kekuasaan untuk menata dirinya, hukum pada titik keberatan, sebagaimana digambarkan oleh Satjipto Rahardjo,[3] situasi keberantakan itu diperlihatkan oleh kondisi hyperregulated, yaitu tumpang tindih (benturan) aturan karena terlalu banyak aturan, proses pembodohan masyarakat, penindasan, sampai kepada miskinya kreatifitas dan matinya nurani penegak hukum. Akibatnya muncul apa yang digambarkan sebagai model penyelesaian masalah di luar hukum formal, tanpa harus menunggu prosedur yang cenderung lama dan berbeli-belit, massa mengadili pelaku pada saat itu di tempat kejadian, mulai dari peradilan massa sampai kepada cap (stigma) tertentu terhadap birokrat. Situasi demikian muncul karena sudah tidak lagi ada kepercayaan yang bisa dilimpahkan kepada lembaga penyokong keadilan. Keadilan menjadi sangat eklusif dan hanya dimiliki oleh segelintir kelompok yang memiliki kemampuan mengalokasi sumber-sumber kekuasaan. Situasi itu telah memicu dan mendorong masyarakat yang termarjinalkan untuk bergerak. Semakin kuatnya tuntunan masyarakat demikian itu, maka dimulailah `Era Hukum Rakyat`,[4] rakyat mulai menguasai jalan dan mengambil alih penafsiran, “siapa mengusai jalan dia mengusai dunia”


[1] Koentono Wibisono Siswohamihardjo, “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofis)”, dalam wajah hukum di Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah menyambut 70 Tahun Satjipto Rahardjo, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2000, hlm. 149.

[2] Lihat: Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, Pustaka Mizan, 1998.

[3] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, KOMPAS, Kamis 20 Januari dan tanggal 21 Januari 2000

[4] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, Ibid.

Kesulitan yang paling krusial adalah, dari mana kita harus mulai untuk memperbaiki carut marutnya hukum bangsa ini. Hanya sekedar gambaran dan hal ini saja tentu belum cukup, bahwa hukum kita memasuki titik terendah dari apa yang kita sebut hilangnya ruhani hukum, kehidupan hukum yang tidak imajinatif, semrawut dan kumuh, sebagaimana dikatakan Kunto Wibisono, “telah terjadi kerancuan visi dan misi hukum kita yang mengarah kepada kehancuran supremasi hukum”.[1] Atau kalau kita hendak meminjam istilah seorang pemikir post modernis, Julia Kristeva, ini sebuah kondisi objek,[2] yaitu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dab tidak ada harapan, objek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan di mana setiap orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk empermainkan hukum, ada yang menangis, ada yang tertawa. Ada yang berjualan, ada yang telanjang, ada yang tidak punya malu dan ada apa saja di dalamnya.

Hukum dalam posisi demikian tidak memeiliki kekuasaan untuk menata dirinya, hukum pada titik keberatan, sebagaimana digambarkan oleh Satjipto Rahardjo,[3] situasi keberantakan itu diperlihatkan oleh kondisi hyperregulated, yaitu tumpang tindih (benturan) aturan karena terlalu banyak aturan, proses pembodohan masyarakat, penindasan, sampai kepada miskinya kreatifitas dan matinya nurani penegak hukum. Akibatnya muncul apa yang digambarkan sebagai model penyelesaian masalah di luar hukum formal, tanpa harus menunggu prosedur yang cenderung lama dan berbeli-belit, massa mengadili pelaku pada saat itu di tempat kejadian, mulai dari peradilan massa sampai kepada cap (stigma) tertentu terhadap birokrat. Situasi demikian muncul karena sudah tidak lagi ada kepercayaan yang bisa dilimpahkan kepada lembaga penyokong keadilan. Keadilan menjadi sangat eklusif dan hanya dimiliki oleh segelintir kelompok yang memiliki kemampuan mengalokasi sumber-sumber kekuasaan. Situasi itu telah memicu dan mendorong masyarakat yang termarjinalkan untuk bergerak. Semakin kuatnya tuntunan masyarakat demikian itu, maka dimulailah `Era Hukum Rakyat`,[4] rakyat mulai menguasai jalan dan mengambil alih penafsiran, “siapa mengusai jalan dia mengusai dunia”


[1] Koentono Wibisono Siswohamihardjo, “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofis)”, dalam wajah hukum di Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah menyambut 70 Tahun Satjipto Rahardjo, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2000, hlm. 149.

[2] Lihat: Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, Pustaka Mizan, 1998.

[3] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, KOMPAS, Kamis 20 Januari dan tanggal 21 Januari 2000

[4] Satjipto Rahardjo, “Era Hukum Rakyat”, Ibid.

Berbincang dengan Tuhan

Mungkin tak semua indah apa yang kita lihat, kita rasa dan kita raba,,,pahit getir nan sakit itu pasti!!! menangislah itu tidak salah,,,Tuhan tau apa,yang kita mau.andai,,,
ah!! lagi-lagi Tuhan melarangku jangan banyak mengandai-andai,,jangan terlalu banyak berhayal.
Tuhan....dekatkan telingaMu akan kibisikkan sesuatu..."AKU MENCINTAI SALAH SATU HAMBAMU!!"
Andai itu baik buatku...Hai!!! Tuhan menghardik ku,sambil berbisik jangan mengandai-andai...
lalu aku harus berbuat apa????
jadilah kau yang terbaik dari hamba-hambaku,lupakan masa surammu pasti ia akan kuberikan untukmu!!

Teori Hukum

Beberapa pemikir yang mencoba membedah hukum selalu berupaya mencantumkan kata "teori" untuk memeberikan argumentasi yang meyakinkan, bahwa apa yang dijelaskan itu ilmiah, atau paling tidak memerikan gambaran bahwa apa yang dijelaskanya itu adalah memenuhi standar teoritis. 
Teori hukum tentu berbeda dengan apa yang kita pahami dengan positif hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teeori hukum secara jelas. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,1996, hlm. 253.

Polemik Hukum di Indonesia & Solusi Islam dalam Mengatasinya

Beberapa bulan belakangan ini dunia hukum di Indonesia tengah diterpa bencana silih berganti. Bukan berarti kondisi sebelum baik-baik saja. Penyimpangan hukum sebenarnya sudah terjadi sejak negara ini menyatakan merdeka. Namun pada masa orde baru dan orde lama masih terbungkus kado yang cantik hingga kelihatannya baik-baik saja. Setelah zaman reformasi dimulai berbagai carut marut hukum akhirnya terkuak dan menjadi tontonan sehari-hari rakyatnya.
Apalagi beberapa bulan ini, Maraknya berbagai kasus suap-menyuap, kolusi, korupsi, penggelapan pajak, dan kejahatan lainnya yang tak hanya melibatkan pejabat eksekutif maupun pengusaha, para penegak hukum sendiri menjadi dalang dari kisruh hukum di negara ini.
Adanya makelar kasus (markus), skandal pajak Gayus, kasus Bibit- Candra yang kembali diadili, nasib Susno yang semakin tidak jelas, serta kasus Century yang akhirnya menguap begitu saja merupakan fakta yang tak dapat dibantah bahwa ada yang salah dari hukum di negara ini. Upaya penyelesaian hukum yang bersifat stagnan dan tak berujung. Kasus hukum dipakai oleh para elite politik sebagai bargaining posisition dengan cara menyandera atau memunculkan kembali kasus yang melibatkan lawan politiknya. Akhirnya tidak jarang upaya penyelesaian hukum yang terjadi merupakan hasil kesepakatan politik. Selain itu, pihak-pihak yang seharusnya terlibat dalam penegakan hukum ternyata terlibat dalam kejahatan hukum itu sendiri.
Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, banyak pejabat dan pimpinan di negara ini terkena sakit ketidakjujuran. Hal ini dikemukakan pada saat membuka pelatihan ESQ Nasional di Jakarta, Februari lalu. Hal yang perlu dicermati adalah apakah hanya masalah kelakuan indivdu para pemimpin di negeri ini membuat negara terpuruk seperti pada bidang hukum? Kita semestinya bertanya juga apakah yang membuat para pemimpin dan pejabat di negara ini berani melakukan hal tersebut? Bukankah negara ini telah memiliki aturan hukum misalnya KUHP, undang-undang hukum perdata, serta berbagai undang-undang lainnya.
Sejatinya, polemik hukum di negara ini bukan hanya dari aspek mental kelakuan individunya. Namun, pada sistem hukum yang dijalankan. Memang benar bahwa setiap kasus yang terjadi pasti melibatkan individu. Akan tetapi, individu tersebut berani melakukan kejahatan atau tindakan pelanggaran hukum tentu karena tidak adanya sistem hukum yang mampu mencegah mereka dan memberikan efek jera. Hukum yang dijalankan saat ini cenderung tambal sulam, berat sebelah, dapat diperjual-belikan, dan berlubang di sana-sini sehingga tidak dapat menjerat secara mutlak pelaku pelanggaran hukum. Ada saja dalih maupun argumen yang dimunculkan untuk lolos dari jeratan hukum. Oleh karena itu, kita harusnya kembali bertanya lagi, apa yang menjadi landasan atau ide dasar para pembuat undang-undang tersebut (para anggota DPR ) sehingga menghasilkan undang-undang yang cacat? Adakah undang-undang yang berlaku universal, adil, tidak bergantung waktu, memiliki kepastian hukum, serta memiliki efek jera?
Jawaban adalah sekulerisme. Paham inilah yang merupakan akidah dari kapitalisme, liberalisme, HAM, gender, pluralisme. Sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) telah membawa masyarakat terutama umat muslim berada dalam jurang kehinaan. Dengan paham inilah para pejabat negara legislatif menghasilkan produk undang-undang yang cacat sejak lahir.
Sesungguhnya, undang-undang atau aturan yang mampu mensejahterakan dan memberikan rasa adil kepada manusia adalah berasal dari zat yang paling mengetahui sifat dan karakter manusia itu sendiri yang tidak lain Al Khaliq Allah SWT. Aturan Allah SWT berupa syariat Islam merupakan satu-satunya pilihan dan bukan alternatif jika manusia (muslim) meyakini bahwa syariat Islam diturunkan oleh-Nya untuk mengatur hidup manusia. Oleh karena itu, adalah suatu kesalahan yang amat fatal jika negara Indonesia mayoritas penduduknya mengaku muslim mengambil hukum yang lain. Buktinya adalah polemik hukum yang terjadi ditengah-tengah kita.
Syariat Islam sangatlah berbeda dari aturan atau undang-undang yang lain, baik dilihat dari segi subtansi, sistem yang berjalan, seta budaya hukum Islam sendiri.
1. Dari segi subtansi, syariat Islam merupakan aturan yang berasal dari sang pencipta yang mengetahui hakikat manusia dan segala hal yang berkaitan dengannya. Allah SWT tidak memiliki kepentingan apapun dari hukum yang ditetapkan untuk manusia. Sehingga ketika Syariat Islam menetapkan haram dan halal tentulah hal tersebut bersifat baku, berlaku bagi seluruh manusia, serta tidak dapat dipermainkan sesuai kepentingan penguasa.
2. Dari segi sistem yang berjalan, setidaknya ada dua keunggulan syariat Islam yaitu, pada kejelasan pihak yang terlibat struktur hukum serta putusan hukum yang tidak berjenjang. Dalam Islam, pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan kasus hukum hanyalah aparat pengadilan. Pihak kepolisian tugas utamanya menjaga keteriban dan keamanaan. Masalah pembuktian, penuntutan, dan pengadilan ditangani aparat pengadilan dan para hakim (qadli). Hal ini sangat berbeda dengan struktur hukum di Indonesia. Pihak-pihak yang menyelidiki dan menyidik saja ada kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Akibatnya, Tumpang tindih dan tarik-menarik kepentingan antar lembaga sangatlah rawan.
3. Selain itu, Syariat Islam tidak mengenal putusan hukum yang berjenjang. Keputusan yang diambil oleh hakim adalah keputusan final dan mengikat. Keputusan tersebut tidak akan berubah dan tidak bisa dibatalkan oleh hakim lain. Hal ini akan memperpendek proses memperoleh kepastian hukum. Hal ini sangat berbeda pada sistem hukum Indonesia yang sifatnya berjenjang mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi(banding), dan Mahkamah Agung(kasasi). Seseorang yang berperkara untuk memperoleh kepastian hukum akan mengalami prose yang panjang, biaya yang besar, serta semakin banyak pihak yang terlibat. Disisi lain, proses tersebut akan memberikan celah kepada pihak-pihak yang ingin memperoleh keuntungan pribadi dan terjadinya kolusi.
4. Adapun berkaitan dengan budaya hukum, budaya malu dan pengendalian diri sangat mendapat perhatian dalam Islam. Sistem Islam menanamkan Iman kepada masyarakat, pejabat negara, dan pejabat hukum. Hal tersebut akan menjaga perilaku dan kejujuran pejabat untuk tidak melalukan kriminal. Budaya hukum Islam juga akan membuat pengawasan masyarakat berjalan dengan baik. Mereka akan menolak dan mencegah jika ada perbuatan hukum yang menyimpang.

Jumat, November 26, 2010

PLATO

PLATO


Hukum adalah suatu keharusan dan penting bagi masyarakat
Hukum adalah sistem peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat