Kamis, Januari 16, 2014
Rabu, Januari 15, 2014
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa
Bagi sebagian besar
penduduk pedesaan ini mungkin belum mengetahui secara jelas tentang peraturan
perundang undangan yang berkaitan langsung dengan segala sendi kehidupannya di
desa, oleh karena itu perlu adanya sosialisasi tentang peraturan perundang
undangan kepada masyarakat di pedesaan.
Dalam kesempatan kali ini, redaksi
memandang perlu mensosialisasikan aturan mengenai pemerintahan desa yang lebih
dikenal dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan
Desa. Akan tetapi mengikat banyaknya hal yang diuraikan dalam peraturan
tersebut, maka akan diuraikan hal hal yang berkaitan dengan tugas, wewenang,
kewajiban dan hak Kepala Desa, sedang tentang yang lain akan disajikan pada
kesempatan berikutnya.
Peraturan Pemerintah No.
72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa ini diterbitkan untuk melaksanakan
ketentuan pasal 216 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Untuk lebih jelasnya, maka uraian yang ada dalam paragraf
2 pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa tugas Kepala Desa adalah menyelenggarakan
urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Dalam melaksanakan tugasnya itu, Kepala
Desa mempunyai wewenang:
1.     
Memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama Badan Perwakilan Desa (BPD).
2.     
Mengajukan rancangan Peraturan Desa.
3.     
Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD.
4.     
Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD.
5.     
Membina kehidupan masyarakat desa.
6.     
Membina perekonomian desa.
7.     
Mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.
8.     
Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakili sesuai dengan peraturan perundang undangan.
9.     
Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Kemudian dalam melaksanakan tugas sebagaimana
diatur pada pasal 14 tersebut, maka Kepala Desa mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 15 yang berbunyi sebagai
berikut :
1)     
Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2)     
Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
3)     
Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
4)     
Melaksanakan kehidupan demokrasi.
5)     
Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari
kolusi, korupsi dan nepotisme.
6)     
Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa.
7)     
Menaati dan menegakkan se luruh peraturan perundang undangan.
8)     
Menyelenggarakan administrasi pemerintahan yang baik.
9)     
Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa.
10)  Melaksanakan urusan yang
menjadi kewenangan desa.
11)  Mendamaikan perselisihan
masyarakat di desa.
12)  Mengembangkan pendapatan
masyarakat dan desa.
13)  Membina, mengayomi dan
melestarikan nilai nilai sosial budaya dan adat istiadat.
14)  Memberdayakan masyarakat
dan kelembagaan di desa.
15)  Mengembangkan potensi
sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.
Selain itu, Kepala Desa
juga berkewajiban untuk memberikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
kepada Bupati / Walikota, memberikan Laporan Keterangan Pertanggung jawaban
kepada BPD serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
masyarakat.
Sedangkan yang menjadi larangan bagi Kepala Desa telah diatur pada pasal
16, yang berbunyi sebagai berikut :
1.     
Menjadi pengurus PARPOL.
2.     
Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota BPD dan lembaga
kemasyarakatan di desa yang bersangkutan.
3.     
Merangkap jabatan sebagai anggota DPRD.
4.     
Terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden dan pemilihan
kepala daerah (PILKADA).
5.     
Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat dan
mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain.
6.     
Melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme, menerima uang dan/atau jasa dari
pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya.
7.     
Menyalahgunakan wewenang.
8.     
Melanggar sumpah/janji jabatan.
Selasa, Januari 14, 2014
Senin, Januari 13, 2014
Pepatah Jowo
1. Ana dina, ana upa.
ada hari ada rezeki
2. Ora obah, ora mamah.
Siapa yang tidak bergerak (berusaha), tidak makan.
3. Witing tresna jalaran saka kulina.
Cinta bermula dari kebiasaan.
4. Ngono ya ngono, ning aja ngono.
Begitu ya begitu, tapi jangan terlalu begitu ( jangan berlebihan).
5. Durung menang yen durung wani kalah, durung unggul yen durung wani asor, durung gedhe yen durung wani cilik.
Belum menang kalau belum berani kalah, belum unggul kalau belum berani rendah, belum besar kalau belum berani kecil.
6. Sing salah bakal seleh.
Siapa yang salah akhirnya akan menyerah.
7. Ngelmu iku kelakone kanthi laku.
Ilmu itu bisa terwujud dengan cara dilakukan (belajar).
8. Memayu hayunin bawana.
Menambah indahnya dunia yang memang sudah diciptakan sedemikian indahnya.
9. Aja adigang, adigung, adiguna.
Jangan mengandalkan kekuasaan, keluhuran, dan kepandaiannya.
10. Wani ngalah luhur wekasane.
Orang yang mau mengalah akan mulia di kemudian hari.
11. Angon mongso.
Menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.
12. Becik ketitik ala ketara.
Baik dan buruk pasti akan ketahuan di kemudian hari.
13. Mburu uceng kelangan dhelek.
Mencari sesuatu yang kecil malah kehilangan sesuatu yang lebih berharga.
14. Cincing-cincing meksa klebus.
Bermaksud irit tapi justru boros.
15. Gliyak-gliyak tumindak, sareh pakoleh.
Meskipun bertindak pelan-pelan tetapi bisa terlaksana keinginannya.
16. Kakehan gludhug kurang udan.
Terlalu banyak bicara tetapi tidak ada kenyataannya.
17. Mulat salira, hangrasa wani.
Sebelum bertindak harus tahu diri, dipikir dengan jernih, tidak sembrono, supaya tidak mengecewakan orang lain. Jika merasa mampu maka bertindak, namun jika tidak mampu harus berani mengatakan tidak.
18. Milih-milih tebu oleh boleng.
Terlalu banyak pertimbangan akhirnya justru mendapat hal yang tidak baik.
19. Ngundhuh wohing pakarti.
Setiap orang akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.
20. Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.
Jika hidup saling rukun maka akan sejahtera, jika hidup saling berselisih maka akan membuat rusak.
21. Sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Melakukan suatu pekerjaan dengan giat tanpa pamrih.
22. Sluman slumun slamet.
Meskipun kurang hati-hati namun masih diberi keselamatan.
23. Tega larane ora tega patine.
Meskipun hati tega melihat orang lain sengsara tetapi masih mau memberi pertolongan.
24. Yitna yuwana lena kena.
Barang siapa berhati-hati akan selamat, sedangkan yang ceroboh akan mendapat petaka.
25. Ajining diri dumunung ana ing lathi.
Kehormatan seseorang terletak pada tutur katanya.
26. Ajining raga ana ing busana.
Kehormatan seseorang secara fisik dilihat dari busana yang dikenakan.
27. Alon-alon waton kelakon.
Biar lambat tidak apa-apa asalkan tercapai tujuannya.
28. Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani.
Kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan sok berani.
29. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi daya kekuatan.
30. Sapa sira sapa ingsun.
Orang harus bisa menempatkaan diri, jangan sembarangan menyuruh atau memerintah orang lain.
31. Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati.
Segala perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain akan dibalas setimpal perbuatannya.
32. Basa iku busananing bangsa.
Budi pekerti seseorang bisa terlihat dari tutur kata yang diucapkannya.
33. Aja dumeh.
Siapa pun tidak boleh mengandalkan jabatan, kedudukan, atau kepandaiannya untuk menekan orang lain karena manusia sama di hadapan Sang Khalik.
34. Cedhak kebo gupak.
Berteman dan bergaul dengan orang jahat pasti nantinya akan ikut-ikutan / terbawa-bawa.
35. Aja goleh wah, mengko dadi owah.
Jangan melakukan suatu pekerjaan dengan didasari dengan niat mencari perhatian orang atau mendapatkan pujian melainkan lakukanlah dengan niat baik dan ketulusan.
36. Balilu tau pinter durung nglakoni.
Orang bodoh tetapi sering mempraktekan suatu pekerjaan akan lebih dihargai daripada orang pintar tetapi belum pernah mempraktekan pekerjaan tersebut.
37. Sabar sareh mesthi bakal pakoleh.
Berbuat sesuatu janganlah terburu-buru agar mendapat hasil yang diinginkan.
38. Durung pecus keselak besus.
Belum memiliki bekal yang cukup, tetapi memiliki keinginan yang bermacam-macam.
39. Kendel ngringkel, dhadag ora godhag.
Mengaku berani dan pandai tetapi sesungguhnya penakut dan bodoh.
40. Kalah cacak menang cacak.
Setiap pekerjaan sebaiknya dicoba terlebih dahulu untuk mengetahui dapat atau tidaknya pekerjaan tersebut diselesaikan.
41. Garang garing.
Orang yang sok kaya tetapi sesungguhnya berkekurangan.
42. Kemrisik tanpa kanginan.
Mengatakan kebersihan hatinya sendiri karena khawatir dirinya diduga orang melakukan hal yang tidak baik.
43. Sak beja bejane wong lali, isih beja wong kang eling lan waspada.
Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.
44. Bapa kesolah anak molah.
Jika orangtua sedang mengalami kesulitan, anak juga ikut merasakan akibatnya.
Dikutip dari buku 172 Kumpulan Pepatah Bijak Menuju Hidup Lebih Baik karya Hendro Cahyo Suwarno.
ada hari ada rezeki
2. Ora obah, ora mamah.
Siapa yang tidak bergerak (berusaha), tidak makan.
3. Witing tresna jalaran saka kulina.
Cinta bermula dari kebiasaan.
4. Ngono ya ngono, ning aja ngono.
Begitu ya begitu, tapi jangan terlalu begitu ( jangan berlebihan).
5. Durung menang yen durung wani kalah, durung unggul yen durung wani asor, durung gedhe yen durung wani cilik.
Belum menang kalau belum berani kalah, belum unggul kalau belum berani rendah, belum besar kalau belum berani kecil.
6. Sing salah bakal seleh.
Siapa yang salah akhirnya akan menyerah.
7. Ngelmu iku kelakone kanthi laku.
Ilmu itu bisa terwujud dengan cara dilakukan (belajar).
8. Memayu hayunin bawana.
Menambah indahnya dunia yang memang sudah diciptakan sedemikian indahnya.
9. Aja adigang, adigung, adiguna.
Jangan mengandalkan kekuasaan, keluhuran, dan kepandaiannya.
10. Wani ngalah luhur wekasane.
Orang yang mau mengalah akan mulia di kemudian hari.
11. Angon mongso.
Menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.
12. Becik ketitik ala ketara.
Baik dan buruk pasti akan ketahuan di kemudian hari.
13. Mburu uceng kelangan dhelek.
Mencari sesuatu yang kecil malah kehilangan sesuatu yang lebih berharga.
14. Cincing-cincing meksa klebus.
Bermaksud irit tapi justru boros.
15. Gliyak-gliyak tumindak, sareh pakoleh.
Meskipun bertindak pelan-pelan tetapi bisa terlaksana keinginannya.
16. Kakehan gludhug kurang udan.
Terlalu banyak bicara tetapi tidak ada kenyataannya.
17. Mulat salira, hangrasa wani.
Sebelum bertindak harus tahu diri, dipikir dengan jernih, tidak sembrono, supaya tidak mengecewakan orang lain. Jika merasa mampu maka bertindak, namun jika tidak mampu harus berani mengatakan tidak.
18. Milih-milih tebu oleh boleng.
Terlalu banyak pertimbangan akhirnya justru mendapat hal yang tidak baik.
19. Ngundhuh wohing pakarti.
Setiap orang akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.
20. Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.
Jika hidup saling rukun maka akan sejahtera, jika hidup saling berselisih maka akan membuat rusak.
21. Sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Melakukan suatu pekerjaan dengan giat tanpa pamrih.
22. Sluman slumun slamet.
Meskipun kurang hati-hati namun masih diberi keselamatan.
23. Tega larane ora tega patine.
Meskipun hati tega melihat orang lain sengsara tetapi masih mau memberi pertolongan.
24. Yitna yuwana lena kena.
Barang siapa berhati-hati akan selamat, sedangkan yang ceroboh akan mendapat petaka.
25. Ajining diri dumunung ana ing lathi.
Kehormatan seseorang terletak pada tutur katanya.
26. Ajining raga ana ing busana.
Kehormatan seseorang secara fisik dilihat dari busana yang dikenakan.
27. Alon-alon waton kelakon.
Biar lambat tidak apa-apa asalkan tercapai tujuannya.
28. Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani.
Kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan sok berani.
29. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi daya kekuatan.
30. Sapa sira sapa ingsun.
Orang harus bisa menempatkaan diri, jangan sembarangan menyuruh atau memerintah orang lain.
31. Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati.
Segala perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain akan dibalas setimpal perbuatannya.
32. Basa iku busananing bangsa.
Budi pekerti seseorang bisa terlihat dari tutur kata yang diucapkannya.
33. Aja dumeh.
Siapa pun tidak boleh mengandalkan jabatan, kedudukan, atau kepandaiannya untuk menekan orang lain karena manusia sama di hadapan Sang Khalik.
34. Cedhak kebo gupak.
Berteman dan bergaul dengan orang jahat pasti nantinya akan ikut-ikutan / terbawa-bawa.
35. Aja goleh wah, mengko dadi owah.
Jangan melakukan suatu pekerjaan dengan didasari dengan niat mencari perhatian orang atau mendapatkan pujian melainkan lakukanlah dengan niat baik dan ketulusan.
36. Balilu tau pinter durung nglakoni.
Orang bodoh tetapi sering mempraktekan suatu pekerjaan akan lebih dihargai daripada orang pintar tetapi belum pernah mempraktekan pekerjaan tersebut.
37. Sabar sareh mesthi bakal pakoleh.
Berbuat sesuatu janganlah terburu-buru agar mendapat hasil yang diinginkan.
38. Durung pecus keselak besus.
Belum memiliki bekal yang cukup, tetapi memiliki keinginan yang bermacam-macam.
39. Kendel ngringkel, dhadag ora godhag.
Mengaku berani dan pandai tetapi sesungguhnya penakut dan bodoh.
40. Kalah cacak menang cacak.
Setiap pekerjaan sebaiknya dicoba terlebih dahulu untuk mengetahui dapat atau tidaknya pekerjaan tersebut diselesaikan.
41. Garang garing.
Orang yang sok kaya tetapi sesungguhnya berkekurangan.
42. Kemrisik tanpa kanginan.
Mengatakan kebersihan hatinya sendiri karena khawatir dirinya diduga orang melakukan hal yang tidak baik.
43. Sak beja bejane wong lali, isih beja wong kang eling lan waspada.
Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.
44. Bapa kesolah anak molah.
Jika orangtua sedang mengalami kesulitan, anak juga ikut merasakan akibatnya.
Dikutip dari buku 172 Kumpulan Pepatah Bijak Menuju Hidup Lebih Baik karya Hendro Cahyo Suwarno.
Selasa, Januari 07, 2014
PENGADILAN HAM
PENGADILAN HAM DI INDONESIA:
PROSEDUR DAN PRAKTEK
KEJAHATAN/PELANGGARAN HAM
-        
ordinary crimes (jenis kejahatan
yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan
perkosaan)
-        
extraordinary
crimes /pelanggaran HAM berat 
-            
crimes against
humanity (“meluas”,
“sistematik” dan “intensi”)
-            
Genocida
-            
War crime
3 cara alternatif untuk
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat berdasarkan
Undang-undang No. 26
tahun 2000 ; 
-        
mekanisme
pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya
undang-undang ini
-        
pengadilan HAM
yang sifatnya permanen dan 
-        
menggunakan
mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Dari argumen
tentang kesalahan secara konseptual ini menjadikan ada 2 lembaga yang mempunyai
yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadilai perkara pidana yaitu peradilan pidana
dan pengadilan HAM.  Atas kesalahan
konsep ini maka UU No. 26 Tahun 2000 
dianggap sebagai undang-undang yang sifatnya transisional sehingga untuk
masa yang akan datang harus dirubah dan diintegrasikan kedalam ketentuan pidana
atau masuk peradilan pidana.  
UU No. 26
Tahun 2000 tentang pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan
yang mendasar dalam pengaturannya. Kelemahan-kelemahan ini karena 
-    
proses
pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami
banyak kesalahan. 
-    
Pengadopsian
atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab
komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam
aplikasinya 
-    
tidak
ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunakan
ketentuan yang berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHAP). 
Pengaturan
tentang pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000  adalah sebagai berikut :
b.    Kedudukan
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan
umum. Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti pengadilan umum atau pengadilan
negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan
negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :  
1.    Ruangan pengadilan yang juga merupakan
ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk
pengadilan ham. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadual persidangan akan
sangat bergantung dengan jadual persidangan kasus-kasus lainnya yang juga
ditangani oleh pengadilan negeri tempat pengadilan ham ini digelar.     
2.    Dukungan staf administrasi : staf
administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera
yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran
HAM yang berat. 
3.    Dukungan panitera yang juga diambilkan dari
pengadilan negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan
panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran ham yang berat.
Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
4.    Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad
hoc  adalah ruangan tersendiri namun
untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai
ruangan tersendiri. 
c.  Jenis kejahatan yang dapat diadili
Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat
diperiksa atau diputus oleh pengadilan HAM adalah : 
1.  Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara : 
a.  membunuh anggota kelompok
b.  mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota-anggota kelompok;
c.   menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d.  memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok atau;
e.  memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu
ke kelompok lain. 
2.  Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil
yang berupa :
a.  Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana pasal 340
KUHP. 
b.  Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan
penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan
menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan
pada sebagian penduduk.   
c.   Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan
manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
d.  Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa,
yaitu  pemindahan orang-orang secara
paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah
dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang
diijinkan oleh hukum international. 
e.  Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional.  
f.    Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan
kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik  maupun mental, terhadap seorang tahanan atau
seorang yang berada dibawah pengawasan. 
g.  Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara. 
h.  Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. 
i.     Penghilangan  
orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan
seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau
kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan
kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum
dalam jangka waktu yang panjang. 
j.     Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi
dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang
dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi
oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain
dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan regim itu. 
Kejahatan
terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya  terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000
berbunyi sebagai berikut:
“Kejahatan  terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil, …”
Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak
jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting
yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan
defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan.
(Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension”
didefinisikan dengan tegas.[1]) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan
yang dimaksud dalam pasal yang sama[2] menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir. 
Kedua, adanya problematika yang timbul dari 
penerjemahan yang keliru dalam 
pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any
civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma
pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil,
oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah
hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini
sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh
pasal ini. Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah
menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal
ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban
kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan
tersebut berlangsung.
Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di
bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan
penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun
2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena
tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada
definisi “penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia
(KUHP). Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada
perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun
ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan
pada fisik seseorang.[3] Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi
yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar
kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa
harus membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat
yang ditimbulkan.
d.    Hukum acara yang digunakan & Due Process of Law
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 
menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang
berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan
dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab
Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 
UU No. 26 Tahun 2000  mengatur
Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM  yang berat. Kekhususan dalam penanganan
pelanggaran HAM  yang berat dalam UU No.
26 Tahun 2000  adalah :
1.    Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad
hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.
2.    Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya
dilakukan oleh komisi nasional  hak asasi
manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan
sebagai mana diatur dalam KUHAP.
3.    Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu
tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4.    Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan
korban dan saksi.
5.    Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada
kedaluarsa pelanggaran ham yang berat. 
e.    Delik tanggung jawab komando
Delik tanggung jawab komando ini diatur dalam pasal 42 UU No. 26 Tahun
2000  yang membagi dalam 2 kategori pihak
yang dapat terkena delik tanggung jawab komando yaitu  :
1.    unsur militer : 
diatur dalam ayat
1 yang menentukan Komandan
militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer
dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam
yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah
komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari
tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu:
                                         
i.    komandan militer atau seseorang tersebut
mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan
tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; dan
                                        
ii.    komandan militer atau seseorang tersebut
tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
2.    unsur polisi atau sipil 
dalam ayat 2 yang
menentukan Seorang
atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif,
karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara
patut dan benar, yakni:
                                         
i.    atasan tersebut mengetahui atau secara sadar
mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang
melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
dan
                                        
ii.    atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang
berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Konsep tentang
tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan terhadap
kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 Tahun
2000  ini.  pengertian tanggung jawab komando dalam pasal
42 ayat 1 menyatakan : 
“komando militer atau seseorang yang secara efektif
bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap
tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh
pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, …”
Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan
bukannya “akan” (shall) atau “harus” (should), secara implisit
menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi
manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis
dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di
lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan
membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab
komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.
Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando
untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan
atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.”
Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta
Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui
bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan…”[4]
Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung
jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat
1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut
tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun
tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu”
dilakukan oleh penanggung jawab komando.[5]
4. Pengadilan Ham Ad Hoc
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk
memeriksa dan memutus perkara 
pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun
2000.  Hal inilah yang membedakan dengan
pengadilan HAM  permanen yang dapat
memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah
diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat yang
terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan
Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini. 
Sampai saat ini sudah
berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang
terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc menunjukkan bahwa
penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 
tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah.
Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang
menangani perkara pelanggaran HAM di Timor-timur ini.  
Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc  didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun
2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum
diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad
hoc. Ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu
dengan keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan
perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya
pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran
HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti
tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. 
Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad
hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang 
berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad
hoc yaitu :
1.  adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil
penyelidikan Komnas HAM.
2.  adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung. 
3.  adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk
mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempus dan locus delicti
tertentu.
4.  adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya
pengadilan HAM ad hoc. 
Ketentuan pasal 43 UU No.
26 Tahun 2000  tidak mengatur secara
jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan
pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM
tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc
untuk kasus pelanggaran HAM berat di timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya
adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke kejaksaan
agung, kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke
presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi.
Presiden mengeluarkan keppres maka digelar pengadilan HAM ad hoc.
Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam
adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad
hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan
untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat
dimasa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa
politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR.  Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan
dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya
pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan
dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan dari DPR. Meskipun masih diperdebatkan,
sebagian kalangan praktisi dan akademisi hukum menganggap hal ini secara
implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang
pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat menyatakan ada
tidaknya pelanggaran HAM yang berat.[6]
[1] Lihat Pasal 30 ayat 2 & 3, Statuta Roma, yang mengatur  mengenai mental element:  “For the purposes of ths article, a person
has intent where: (2) (a) In relation to conduct, that person means to engage
in the conduct; (b) In relation to a consequence that person means to cause
that consequence or is aware that it will occur ordinary course of events. (3)
For the purposes of this article,”knowledge” means awareness that a
circumstance exists or consequence will occur in thw ondinary course of events.
“Know” and “knowingly” shall be construed accordingly.”
[2] Pasal 9 UU no.26/2000
[3] Bandingkan pengertian “persecution” dalam ICC atau ICTY Statute
dengan pengertian “penganiayaan” dalam UU No 26/2000 pasal 9(h). Penganiayaan
sebagaimana pengertian dalam KUHP dalam bahasa Inggris setara (bukan sama
secara definitif) dengan pengertian “assault” yang menunjuk pada penyerangan
secara langsung terhadap fisik seseorang. Lihat juga Bassiouni, Crimes
Against Humanity in the International Law, Kluwer Law International , 1999,
hal 247.
[4] Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma: “That military commander or
person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have
known that the forces were committing or about to commit such
crimes;” (garis bawah dari penulis)
[5] Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga
diulangi pada pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung jawab atasan
(polisi dan pejabat sipil).
[6] Adanya kewenangan DPR untuk mengusulkan adanya
pengadilan HAM ad hoc inilai yang banyak menghambat proses kearah adanya
pengadilan HAM ad hoc karena DPR menganggap tidak ada pelanggaran HAM berat
dari hasil penyelidikan komnas HAM. Contohnya adalah kasus trisaksi dan
semanggi yang sampai sekarang belum dapat dibawa ke pengadilan HAM ad hoc. 
Langganan:
Komentar (Atom)
