Powered By Blogger

Rabu, Januari 15, 2014

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa

Bagi sebagian besar penduduk pedesaan ini mungkin belum mengetahui secara jelas tentang peraturan perundang undangan yang berkaitan langsung dengan segala sendi kehidupannya di desa, oleh karena itu perlu adanya sosialisasi tentang peraturan perundang undangan kepada masyarakat di pedesaan.
Dalam kesempatan kali ini, redaksi memandang perlu mensosialisasikan aturan mengenai pemerintahan desa yang lebih dikenal dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa. Akan tetapi mengikat banyaknya hal yang diuraikan dalam peraturan tersebut, maka akan diuraikan hal hal yang berkaitan dengan tugas, wewenang, kewajiban dan hak Kepala Desa, sedang tentang yang lain akan disajikan pada kesempatan berikutnya.
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan pasal 216 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk lebih jelasnya, maka uraian yang ada dalam paragraf 2 pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa tugas Kepala Desa adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Dalam melaksanakan tugasnya itu, Kepala Desa mempunyai wewenang:
1.      Memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Perwakilan Desa (BPD).
2.      Mengajukan rancangan Peraturan Desa.
3.      Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD.
4.      Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD.
5.      Membina kehidupan masyarakat desa.
6.      Membina perekonomian desa.
7.      Mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.
8.      Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakili sesuai dengan peraturan perundang undangan.
9.      Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang undangan.


Kemudian dalam melaksanakan tugas sebagaimana diatur pada pasal 14 tersebut, maka Kepala Desa mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut :
1)      Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2)      Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
3)      Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
4)      Melaksanakan kehidupan demokrasi.
5)      Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
6)      Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa.
7)      Menaati dan menegakkan se luruh peraturan perundang undangan.
8)      Menyelenggarakan administrasi pemerintahan yang baik.
9)      Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa.
10)  Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa.
11)  Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa.
12)  Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa.
13)  Membina, mengayomi dan melestarikan nilai nilai sosial budaya dan adat istiadat.
14)  Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa.
15)  Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.
Selain itu, Kepala Desa juga berkewajiban untuk memberikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Bupati / Walikota, memberikan Laporan Keterangan Pertanggung jawaban kepada BPD serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.

Sedangkan yang menjadi larangan bagi Kepala Desa telah diatur pada pasal 16, yang berbunyi sebagai berikut :

1.      Menjadi pengurus PARPOL.
2.      Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota BPD dan lembaga kemasyarakatan di desa yang bersangkutan.
3.      Merangkap jabatan sebagai anggota DPRD.
4.      Terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah (PILKADA).
5.      Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain.
6.      Melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme, menerima uang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya.
7.      Menyalahgunakan wewenang.
8.      Melanggar sumpah/janji jabatan.

Senin, Januari 13, 2014

Pepatah Jowo

1. Ana dina, ana upa.

 ada hari ada rezeki

2. Ora obah, ora mamah.
 Siapa yang tidak bergerak (berusaha), tidak makan.

3. Witing tresna jalaran saka kulina.
 Cinta bermula dari kebiasaan.

4. Ngono ya ngono, ning aja ngono.
 Begitu ya begitu, tapi jangan terlalu begitu ( jangan berlebihan).

5. Durung menang yen durung wani kalah, durung unggul yen durung wani asor, durung gedhe yen durung wani cilik.
 Belum menang kalau belum berani kalah, belum unggul kalau belum berani rendah, belum besar kalau belum berani kecil.

6. Sing salah bakal seleh.
Siapa yang salah akhirnya akan menyerah.

7. Ngelmu iku kelakone kanthi laku.
Ilmu itu bisa terwujud dengan cara dilakukan (belajar).

8. Memayu hayunin bawana.
Menambah indahnya dunia yang memang sudah diciptakan sedemikian indahnya.

9. Aja adigang, adigung, adiguna.
Jangan mengandalkan kekuasaan, keluhuran, dan kepandaiannya.

10. Wani ngalah luhur wekasane.
Orang yang mau mengalah akan mulia di kemudian hari.

11. Angon mongso.
Menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.

12. Becik ketitik ala ketara.
Baik dan buruk pasti akan ketahuan di kemudian hari.

13. Mburu uceng kelangan dhelek.
Mencari sesuatu yang kecil malah kehilangan sesuatu yang lebih berharga.

14. Cincing-cincing meksa klebus.
Bermaksud irit tapi justru boros.

15. Gliyak-gliyak tumindak, sareh pakoleh.
Meskipun bertindak pelan-pelan tetapi bisa terlaksana keinginannya.

16. Kakehan gludhug kurang udan.
Terlalu banyak bicara tetapi tidak ada kenyataannya.

17. Mulat salira, hangrasa wani.
Sebelum bertindak harus tahu diri, dipikir dengan jernih, tidak sembrono, supaya tidak mengecewakan orang lain. Jika merasa mampu maka bertindak, namun jika tidak mampu harus berani mengatakan tidak.

18. Milih-milih tebu oleh boleng.
Terlalu banyak pertimbangan akhirnya justru mendapat hal yang tidak baik.

19. Ngundhuh wohing pakarti.
Setiap orang akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.

20. Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.
Jika hidup saling rukun maka akan sejahtera, jika hidup saling berselisih maka akan membuat rusak.

21. Sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Melakukan suatu pekerjaan dengan giat tanpa pamrih.

22. Sluman slumun slamet.
Meskipun kurang hati-hati namun masih diberi keselamatan.

23. Tega larane ora tega patine.
Meskipun hati tega melihat orang lain sengsara tetapi masih mau memberi pertolongan.

24. Yitna yuwana lena kena.
Barang siapa berhati-hati akan selamat, sedangkan yang ceroboh akan mendapat petaka.

25. Ajining diri dumunung ana ing lathi.
Kehormatan seseorang terletak pada tutur katanya.

26. Ajining raga ana ing busana.
Kehormatan seseorang secara fisik dilihat dari busana yang dikenakan.

27. Alon-alon waton kelakon.
Biar lambat tidak apa-apa asalkan tercapai tujuannya.

28. Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani.
Kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan sok berani.

29. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi daya kekuatan.

30. Sapa sira sapa ingsun.
Orang harus bisa menempatkaan diri, jangan sembarangan menyuruh atau memerintah orang lain.

31. Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati.
Segala perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain akan dibalas setimpal perbuatannya.

32. Basa iku busananing bangsa.
Budi pekerti seseorang bisa terlihat dari tutur kata yang diucapkannya.

33. Aja dumeh.
Siapa pun tidak boleh mengandalkan jabatan, kedudukan, atau kepandaiannya untuk menekan orang lain karena manusia sama di hadapan Sang Khalik.

34. Cedhak kebo gupak.
Berteman dan bergaul dengan orang jahat pasti nantinya akan ikut-ikutan / terbawa-bawa.

35. Aja goleh wah, mengko dadi owah.
Jangan melakukan suatu pekerjaan dengan didasari dengan niat mencari perhatian orang atau mendapatkan pujian melainkan lakukanlah dengan niat baik dan ketulusan.

36. Balilu tau pinter durung nglakoni.
Orang bodoh tetapi sering mempraktekan suatu pekerjaan akan lebih dihargai daripada orang pintar tetapi belum pernah mempraktekan pekerjaan tersebut.

37. Sabar sareh mesthi bakal pakoleh.
Berbuat sesuatu janganlah terburu-buru agar mendapat hasil yang diinginkan.

38. Durung pecus keselak besus.
Belum memiliki bekal yang cukup, tetapi memiliki keinginan yang bermacam-macam.

39. Kendel ngringkel, dhadag ora godhag.
Mengaku berani dan pandai tetapi sesungguhnya penakut dan bodoh.

40. Kalah cacak menang cacak.
Setiap pekerjaan sebaiknya dicoba terlebih dahulu untuk mengetahui dapat atau tidaknya pekerjaan tersebut diselesaikan.

41. Garang garing.
Orang yang sok kaya tetapi sesungguhnya berkekurangan.

42. Kemrisik tanpa kanginan.
Mengatakan kebersihan hatinya sendiri karena khawatir dirinya diduga orang melakukan hal yang tidak baik.

43. Sak beja bejane wong lali, isih beja wong kang eling lan waspada.
Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.

44. Bapa kesolah anak molah.
Jika orangtua sedang mengalami kesulitan, anak juga ikut merasakan akibatnya.

Dikutip dari buku 172 Kumpulan Pepatah Bijak Menuju Hidup Lebih Baik karya Hendro Cahyo Suwarno.

Selasa, Januari 07, 2014

egani suryanto: Konfigurasi Politik dan Produk Hukum

egani suryanto: Konfigurasi Politik dan Produk Hukum

egani suryanto: Konfigurasi Politik dan Produk Hukum

egani suryanto: Konfigurasi Politik dan Produk Hukum

egani suryanto: Kenyataan

egani suryanto: Kenyataan

PENGADILAN HAM

PENGADILAN HAM DI INDONESIA:

PROSEDUR DAN PRAKTEK

KEJAHATAN/PELANGGARAN HAM
-         ordinary crimes (jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan)
-         extraordinary crimes /pelanggaran HAM berat
-             crimes against humanity (“meluas”, “sistematik” dan “intensi”)
-             Genocida
-             War crime



3 cara alternatif untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat berdasarkan
Undang-undang No. 26 tahun 2000 ;
-         mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini
-         pengadilan HAM yang sifatnya permanen dan
-         menggunakan mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi.


Dari argumen tentang kesalahan secara konseptual ini menjadikan ada 2 lembaga yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadilai perkara pidana yaitu peradilan pidana dan pengadilan HAM.  Atas kesalahan konsep ini maka UU No. 26 Tahun 2000  dianggap sebagai undang-undang yang sifatnya transisional sehingga untuk masa yang akan datang harus dirubah dan diintegrasikan kedalam ketentuan pidana atau masuk peradilan pidana. 

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. Kelemahan-kelemahan ini karena
-     proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan.
-     Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya
-     tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunakan ketentuan yang berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHAP).

Pengaturan tentang pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000  adalah sebagai berikut :
           
b.    Kedudukan

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah : 
1.    Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan ham. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadual persidangan akan sangat bergantung dengan jadual persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh pengadilan negeri tempat pengadilan ham ini digelar.    
2.    Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.
3.    Dukungan panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran ham yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
4.    Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc  adalah ruangan tersendiri namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri.


c.  Jenis kejahatan yang dapat diadili

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan HAM adalah :
1.  Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
a.  membunuh anggota kelompok
b.  mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c.   menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d.  memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;
e.  memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2.  Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa :
a.  Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana pasal 340 KUHP.
b.  Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.  
c.   Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
d.  Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu  pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum international.
e.  Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional. 
f.    Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik  maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorang yang berada dibawah pengawasan.
g.  Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h.  Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i.     Penghilangan   orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
j.     Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan regim itu.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya  terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut:

“Kejahatan  terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …”

Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan dengan tegas.[1]) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama[2] menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir.

Kedua, adanya problematika yang timbul dari  penerjemahan yang keliru dalam  pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung.

Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi “penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang.[3] Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan.


d.    Hukum acara yang digunakan & Due Process of Law

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000  menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

UU No. 26 Tahun 2000  mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM  yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM  yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000  adalah :
1.    Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.
2.    Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional  hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.
3.    Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4.    Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5.    Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat.

e.    Delik tanggung jawab komando

Delik tanggung jawab komando ini diatur dalam pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000  yang membagi dalam 2 kategori pihak yang dapat terkena delik tanggung jawab komando yaitu  :
1.    unsur militer :
diatur dalam ayat 1 yang menentukan Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu:
                                          i.    komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
                                         ii.    komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

2.    unsur polisi atau sipil
dalam ayat 2 yang menentukan Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
                                          i.    atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
                                         ii.    atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 Tahun 2000  ini.  pengertian tanggung jawab komando dalam pasal 42 ayat 1 menyatakan :

komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, …”

Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan bukannya “akan” (shall) atau “harus” (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.

Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan…”[4]

Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando.[5]


4. Pengadilan Ham Ad Hoc


Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara  pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000.  Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM  permanen yang dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini.

Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000  tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah. Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran HAM di Timor-timur ini. 

Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc  didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.

Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang  berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
1.  adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM.
2.  adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
3.  adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempus dan locus delicti tertentu.
4.  adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc.

Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000  tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung, kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Presiden mengeluarkan keppres maka digelar pengadilan HAM ad hoc.

Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR.  Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan dari DPR. Meskipun masih diperdebatkan, sebagian kalangan praktisi dan akademisi hukum menganggap hal ini secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat.[6]




[1] Lihat Pasal 30 ayat 2 & 3, Statuta Roma, yang mengatur  mengenai mental element:  “For the purposes of ths article, a person has intent where: (2) (a) In relation to conduct, that person means to engage in the conduct; (b) In relation to a consequence that person means to cause that consequence or is aware that it will occur ordinary course of events. (3) For the purposes of this article,”knowledge” means awareness that a circumstance exists or consequence will occur in thw ondinary course of events. “Know” and “knowingly” shall be construed accordingly.”
[2] Pasal 9 UU no.26/2000
[3] Bandingkan pengertian “persecution” dalam ICC atau ICTY Statute dengan pengertian “penganiayaan” dalam UU No 26/2000 pasal 9(h). Penganiayaan sebagaimana pengertian dalam KUHP dalam bahasa Inggris setara (bukan sama secara definitif) dengan pengertian “assault” yang menunjuk pada penyerangan secara langsung terhadap fisik seseorang. Lihat juga Bassiouni, Crimes Against Humanity in the International Law, Kluwer Law International , 1999, hal 247.
[4] Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma: “That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes;” (garis bawah dari penulis)
[5] Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).
[6] Adanya kewenangan DPR untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc inilai yang banyak menghambat proses kearah adanya pengadilan HAM ad hoc karena DPR menganggap tidak ada pelanggaran HAM berat dari hasil penyelidikan komnas HAM. Contohnya adalah kasus trisaksi dan semanggi yang sampai sekarang belum dapat dibawa ke pengadilan HAM ad hoc.